nama : Atha Zhafira (KPI-II c)
email/no hp
: fyra05@yahoo.com /081294963113
judul artikel
:Menjadi Mulia dengan Memuliakan
Diri di Hadapan Allah
SEORANG anggota Brimob Polda Gorontalo
bernama Briptu Norman Kamaru --yang sebelumnya namanya tidak terkenal di
tingkat lokal-- mendadak menasional bak artis. Negeri kita memang aneh, hanya
karena orang bergoyang ala India, tiba-tiba banyak orang, baik di
jalan-jalan, di parlemen ikut tersihir. Termasuk media televisi kita.
Berita tentang dirinya dimuat berhari-hari di
media massa cetak, TV maupun online. Berkat kemampuannya menirukan
jogednya Shahrukh Khan videonya di Youtube diunduh 1.035.359 kali (sampai Jumat, 8 Maret 2011), membuat
namanya lebih populer dibanding bintang film India Shahrukh Khan yang
membintangi film “My Name is Khan”
yang memecahkan rekor Box Office di Inggris dan Amerika.
Atas jasa media –termasuk TV pula--- ia disanjung
banyak orang, diundang beberapa pejabat, mendapatkan beasiswa, dianggap sebagai
pahlawan karena telah menjadikan polisi sebagai sosok yang lebih humanis di
mata masyarakat dan menciptakan suatu pencitraan yang baik bagi ratusan ribu
polisi teman-temannya. Walhasil, ia menjadi mulia di mata masyarakat.
Karena Ketaqwaan
Menjadi mulia adalah keinginan setiap manusia, namun
tidak setiap manusia mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah
mulia di sisi Allah.
Mulia di sisi Allah pasti mendatangkan
keberkahan yang sebenarnya. Lalu ukuran apakah yang bisa digunakan untuk
menilai seseorang mulia di sisi Allah atau tidak?
Satu-satunya ukurannya adalah ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia kedudukannya di sisi Allah. Sekadar ber-Islam dan beriman tanpa bertaqwa bukanlah ukuran mulia di sisi Allah. Apatah lagi harta, kedudukan, jabatan, profesi, gelar akademik dan gelar-gelar lainnya, prestasi akademik dan prestasi-prestasi lainnya, pakaian kebesaran dan pakaian-pakaian lainnya, popularitas, ketampanan atau kecantikan, dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)
Satu-satunya ukurannya adalah ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia kedudukannya di sisi Allah. Sekadar ber-Islam dan beriman tanpa bertaqwa bukanlah ukuran mulia di sisi Allah. Apatah lagi harta, kedudukan, jabatan, profesi, gelar akademik dan gelar-gelar lainnya, prestasi akademik dan prestasi-prestasi lainnya, pakaian kebesaran dan pakaian-pakaian lainnya, popularitas, ketampanan atau kecantikan, dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)
Dengan berpedoman pada wahyu-Nya tersebut, manusia
bisa melihat dirinya sendiri dan orang lain secara kasat mata apakah telah
mencapai derajat taqwa dan seberapa tinggi tingkat ketaqwaanya.
Salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa dalam
al-Quran adalah “yuqiimuun ash-sholah” (mendirikan
shalat) sebagaimana tersebut dalam dua ayat berikut ini.
“Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]:2-3)
“Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]:2-3)
Kata ash-sholah di dalam al-Qur’an bergandengan dengan kata kerja
dasar aqooma (mendirikan) bukan ’amala (mengerjakan). Dalam ayat tersebut di
atas, kata yang bergandengan dengan kata as-sholah adalah yuqiimuna
(mendirikan), bukan ya’maluuna (mengerjakan). Yang dimaksud dengan mendirikan
shalat adalah memelihara atau menjaga shalat, dalam arti tidak melalaikannya.
Definisi tidak melalaikan shalat adalah sebagai berikut: Shalat wajib lima
waktu tidak ada yang bolong. Melakukan setiap shalat dengankhusyu’ dan tuma’ninah. Melaksanakan shalat fardhu tepat waktu (tidak
menunda-nunda) dan bagi laki-laki wajib berjama’ah di masjid
(musholla/surau/nama lainnya).
Selain mendirikan shalat. ciri orang bertaqwa lainnya
yang juga penting untuk dikemukakan di sini adalah sedikit tidur di malam hari
dengan cara segera tidur di awal malam dan segera bangun di tengah malam atau di
akhir malam sebelum fajar menyingsing untuk beribadah kepada Allah dengan
mendirikan shalat Lail (tahajjud), membaca al-Qur’an, berdzikir, memanjatkan
do’a, dan memohon ampun kepada Allah.
Al-Quran menyebutkan;
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga)
dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka
oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang
yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di
akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:15-18)
Sedangkan ciri lain orang yang paling bertaqwa adalah
menafkahkan hartanya di jalan Allah.
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS. Al-Lail [92]:17-18)
Kemudian, keuntungan apa saja yang pasti diperoleh
oleh orang-orang bertaqwa?
Salah satu keuntungan yang didapatkan orang bertaqwa di dunia adalah ketika ajal datang kepadanya malaikat mencabut nyawanya dalam keadaan baik. Ketika meninggal, setiap orang berbeda keadaannya, ada yang baik dan ada yang tidak baik. Baik atau tidak tergantung masing-masing individu, apakah telah mencapai derajad taqwa atau tidak.
Salah satu keuntungan yang didapatkan orang bertaqwa di dunia adalah ketika ajal datang kepadanya malaikat mencabut nyawanya dalam keadaan baik. Ketika meninggal, setiap orang berbeda keadaannya, ada yang baik dan ada yang tidak baik. Baik atau tidak tergantung masing-masing individu, apakah telah mencapai derajad taqwa atau tidak.
“(yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya
sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka
kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa,
(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat
dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke
dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan".” (QS.
An-Nahl [16]: 31-32)
Di akhirat, keuntungan yang akan didapatkan orang-orang bertaqwa adalah memperoleh surga yang memang sudah disediakan khusus oleh Allah untuk mereka.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali I’mron [3]:133)
Di akhirat, keuntungan yang akan didapatkan orang-orang bertaqwa adalah memperoleh surga yang memang sudah disediakan khusus oleh Allah untuk mereka.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali I’mron [3]:133)
Dengan mengetahui keberkahan yang pasti diperoleh oleh
orang-orang yang bertaqwa yang tidak bisa diragukan lagi pasti mulia di sisi
Allah apakah kita masih mengejar kemuliaan diri dan memuliakan manusia yang
dimuliakan menurut kaca mata dan di mata manusia?
Karenanya, marilah kita jadikan diri kita, apapun
profesi kita. Baik sebagai pemimpin, pejabat, pemilik dan pelaku media,
selebritis, maupun lainnya berusaha menjadikan diri kita sendiri mulia di sisi
Allah dan memuliakan orang-orang yang mulia di sisi Allah.*
Abdullah al-Mustofa, penulis adalah kolumnis hidayatullah.com
dan kandidat Master Studi Al-Qur'an di IIUM (International Islamic University
Malaysia)
0 komentar:
Posting Komentar