Selamat datang di Komunikasi Penyiaran Islam KPI C 2012

Selasa, 21 Mei 2013

Artikel pengalaman beriman,berihsan,dan berislam (1)


Nama : Jauza Hibatullah Majid
kelas  : kpi2c 
email : majiid@yahoo.com / no.telpon :085777686799





Pengalaman Beriman, Berislam dan Berihsan
Dalam kesempatan kali ini saya akan berbagi sedikit pengalaman bagaimana perjalanan saya menjadi seseorang yang beriman, berislam dan berihsan bersama Allah. Seperti yang kita ketahui, apakah berimana itu? Beriman yaitu kita beriman kepada malaikat-Nya, kepada kitab-Nya dan pada hari kiamat. Menanamkan jiwa beriman sejak kecil yang telah diajarkan oleh orang tua serta guru, untuk selalu membaca tadarus Al-Quran, karena saya percaya dengan beriman kepada Allah itu akan mendekatkan diri saya kepada-Nya. Berpegang teguh pada keimanan, mempercayai adanya malaikat serta tugas-tugasnya yang selalu mengawasi saya untuk bertindak. Sebagaimana kita tahu
tugas malaikat pencatat amal baik dan buruk yang kelak akan dipertanggungjawabkan oleh kita sendiri. Beriman kepada hari kiamat, percaya akan hari itu tiba, membuat saya terus berdzikir dan memohon ampun kepada nya. Sekarang ini sudah banyak tanda-tanda kiamat, seperti terjadinya musibah alam, dan meninggalnya orang orang yang berjasa atas Islam.
Seseorang yang menjadi panutan saya dalam beragama adalah almarhum kakek saya.  Beliau mengajarkan saya untuk selalu mengingat Allah dimanapun saya berada. Terus berdzikir menyebut nama-Nya, karena almarhum kakek saya berkata bahwa umur seseorang tidak ada yang tahu, kapan Allah memanggilnya tanpa melihat keadaan kita sudah siap atau belum. Sebelum saya memutuskan untuk berjilbab, saya pikir ada baiknya saya men-jilbabkan hati saya dahulu, baru lalu kepala saya, tetapi setelah saya mendengarkan banyak ceramah, membaca banyak buku Islam, saya mengerti bahwa berjilbab untuk wanita itu wajib hukum nya. Sebagaimana kita tahu, berjilbab dalam agama Islam telah menjadi kewajiban mutlak yang sudah Allah perintahkan. Kewajiban adalah dimana jika kita langgar mendapat dosa, dan dilakukan mendapat pahala. Allah mewajibkan seseorang melakukan perintahNya bukan tanpa sebab, tetapi memang demi kebaikan kita. Percaya bahwa kita hidup di dunia hanya sebagai menabung untuk di hari yang abadi yaitu akhirat. Banyaknya kejadian yang menunjukan kebesaran Allah sudah cukup menjadi bukti bahwa Allah Maha Esa dan tidak ada satupun keraguan akan kebesaranNya. Hari demi hari terus berbakti kepada-Nya memahami akan setiap perintahNya insyaAllah perlahan menjadikan saya menjadi pribadi yang beriman, berislam dan berihsan.

5 Brosur Terbaik

1. Menjadi Hamba Allah Itu Pilihan Yang Harus Diperjuangkan
- Dalam artikel ini telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah menciptakan manusia untuk menyembah-Nya, tanpa mengenal dan mencintai-Nya kita tidak bisa menjadi hamba Allah yang baik. Janganlah ketidaktauan kita terhadap sang Maha Pencipta menjadikan kita menjadi Thaghut atau menyembah segala sesuatu selain Allah.
2.Fakta Yang Terlupakan Dan Tak Terpikirkan
-Dalam sebuah artikel yang berjudul seperti diatas ini menerangkan kepada kita bahwa di era modern ini permasalahan lupa akan sang pencipta menjadi persoalan utama. Dimana kita merasa dapat hidup tanpa-Nya, oleh karena itu perlu adanya pengetahuan mengapa kita harus bersandar kepada sang khalik. Dengan demikian kita dapat memahami asal usul kita, pengetahuan tentang sumber kekuatan kita, pengetahuan tentang tempat bergantung kita dan lain sebagainya.
3. Mengetahui Allah Dan Menjadi Hamba Allah
- Di dalam artikel ini yang berisi tentang mengetahui bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifahnya, mengikuti perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dan Allah telah mengirim malaikat nabi dan rasul agar manusia senantiasa tahu kenal dan dekat kepada Allah.
4. Ramai ramai 'bertemu' Allah.
-Pembahasan yang menarik ketika kita membaca judul tersebut, bagaimana kita terkecoh dengan kata 'bertemu'. Bagaimana bisa bertemu Allah sebelum kita meninggal dunia? Ternyata bertemu Allah disini adalah dengan tidak berarti fisik, tanpa suara, tidak dengan kasat mata tetapi dengan hati. Berhati-hatilah pada jelmaan syaitan yang menamakan dirinya adalah Tuhan. Karena sudah banyak sekali syaitan yang menjelma dan menamai dirinya menjadi Tuhan.
5.Ada Hubungan Apa Manusia Dengan Allah?
-Dalam bacaan ini, berbagai macam pertanyaan yang sulit terpecahkan. Apakah Allah itu wujud nyata? Apakah sebelum adanya bumi ini, Allah itu sendirian? Apakah Allah bersama ciptaan-Nya? Apakah Allah juga akan sendiri lagi ketika bumi dan alam semesta hancur? Bagaimana kita bisa memahami ini semua tanpa ada keinginan untuk tau lebih jauh mengenai pencipta kita? Bagaimana ia bisa menciptakan segala alam semesta di jagat raya ini.

Artikel pengalaman beriman,berihsan,dan berislam (2)



Nama                    : Anggita Maya Susanti (KPI-II c)
email/no hp       : anggitamayasusanti@rocketmail.com /081311609916
judul artikel        : Puasa: Proses Menuju Taqwa

Tadz, dalam Qs al-Baqarah 2/183, kenapa sih dalam ayat perintah tersebut , berpuasa hanya diperuntukan untuk orang-orang yang beriman saja.” Tanyaku pada suatu sore menjelang bulan Ramadhan.
“Waduh …. Jawabannya tidak cukup sebentar nih ….”
“Ga apa Tadz..”
“Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya perlu menjelaskan dahulu mengenai ‘Proses Keagamaan Kita’, bahwa proses keagamaan kita itu memiliki 3 tingkatan kualitas,
1.Beriman (memperoleh keyakinan),
2. Bertaqwa (Memperbanyak amalan) dan
3. Berislam (berserah diri kepada Allah)”
“Coba diulang “ tanyanya padaku
“Beriman, Bertaqwa dan Berislam “
“Ok,….Tingkatan yg pertama adalah BERIMAN, nah tingkat beriman ini adalah tingkatan paling rendah dalam proses keagamaan kita, tingkatan ini menggambarkan sebuah proses :
Pertama : Proses Pencarian yaitu melalui membaca kitab, pergi ke Majelis ta’lim, pendidikan formal, pesantren dan lain-lain,
Kedua : Proses Pemahaman yaitu melalui bertanya pada ahlinya atau mengadakan sharing dan diskusi dan yang ke
Ketiga : adalah Proses memperoleh Keyakinan, pada tingkatan ini, seorang muslim akan banyak berkutat dengan pergulatan pemikiran, seorang yang tidak pernah mengalami pergulatan pemikiran atau jatuh bangun didalamnya, hampir bisa dipastikan kualitas imannya tidak cukup tangguh.”
“Tingkatan yg ke dua Tadz ?”
“Tingkatan yang ke 2 adalah BERTAQWA, inilah tingkatan APLIKASI alias AMALAN, keyakinan yang talah kita peroleh lewat proses pencarian dan pemahaman harus diterapkan (amalkan) dalam kehidupan sehari-hari secara ISTIQOMAH atau konsisten, itulah yang dimaksud dengan kalimat ITTAQULLAHA HAQQATUQATIHI, bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya Taqwa. Dalam beristiqomah ini kita harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri yg sangat prima….bisa dipahami..?”
“Sebentar,,, tadz….dilanjut dulu”
“Dan tingkatan yang ke tiga adalam ASLAM alias berserah diri, inilah buah dari perjuangan yang sangat panjang. Pencarian….Pemahaman….KeyakinanPengamalan denganIstiqamah/konsisten, hingga menghasilkan jiwa yang Berserah diri, ikhlas dalam beribadah.”
“Hubungannya dengan Puasa Tadz…”
“Nah puasa inilah sebuah tatacara ibadah yang bertujuan untuk menjadikan pelakunya sebagai orang BERTAQWA yaitu tingkatan ke dua dalam proses beragama…, ini sesuai dengan informasi dari Al-Quran surat ke 2/183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu BERTAQWA..”
“Maksudnya Tadz,,,?”
“Ayat diatas dengan gambling menggambarkan kepada kita bahwa PUASA adalah suatu proses untuk meningkatkan kualitas IMAN menjadi TAQWA, oleh sebab itu yang dipanggil untuk memenuhi kewajiban puasa adalah orang-orang yang beriman saja..”
“Pertanyaan saya yang awal sekarang dong jawabannya ?”
““Nah karena sebentar lagi waktu magrib, jawabannya Insya Allah besok dilanjutkan”
………
Kamipun berpisah mempersiapkan ibadah shalat magrib
“Yaa…Rabb ……. Tambahkanlah ilmu-Mu disetiap gerak langkahku..”

Artikel pengalaman beriman,berihsan,dan berislam (2)



nama                      : Atha Zhafira (KPI-II c)
email/no hp       : fyra05@yahoo.com /081294963113
judul artikel        :Menjadi Mulia dengan Memuliakan Diri di Hadapan Allah
Top of Form






Bottom of Form

SEORANG  anggota Brimob Polda Gorontalo bernama Briptu Norman Kamaru --yang sebelumnya namanya tidak terkenal di tingkat lokal-- mendadak menasional bak artis. Negeri kita memang aneh, hanya karena orang  bergoyang ala India, tiba-tiba banyak orang, baik di jalan-jalan, di parlemen ikut tersihir. Termasuk media televisi kita.
Berita tentang dirinya  dimuat berhari-hari di media massa cetak,  TV maupun online. Berkat kemampuannya menirukan jogednya Shahrukh Khan videonya di Youtube diunduh 1.035.359 kali (sampai Jumat, 8 Maret 2011), membuat namanya lebih populer dibanding bintang film India Shahrukh Khan yang membintangi film “My Name is Khan” yang memecahkan rekor Box Office di Inggris dan Amerika.
Atas jasa media –termasuk TV pula--- ia disanjung banyak orang, diundang beberapa pejabat, mendapatkan beasiswa, dianggap sebagai pahlawan karena telah menjadikan polisi sebagai sosok yang lebih humanis di mata masyarakat dan menciptakan suatu pencitraan yang baik bagi ratusan ribu polisi teman-temannya. Walhasil, ia menjadi mulia di mata masyarakat.
Karena Ketaqwaan
Menjadi mulia adalah keinginan setiap manusia, namun tidak setiap manusia mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah mulia di sisi Allah.
Mulia di sisi Allah pasti  mendatangkan keberkahan yang sebenarnya. Lalu ukuran apakah yang bisa digunakan untuk menilai seseorang mulia di sisi Allah atau tidak? 
Satu-satunya ukurannya adalah ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia kedudukannya di sisi Allah. Sekadar ber-Islam dan beriman tanpa bertaqwa bukanlah ukuran mulia di sisi Allah. Apatah lagi harta, kedudukan,  jabatan, profesi, gelar akademik dan gelar-gelar lainnya, prestasi akademik dan prestasi-prestasi lainnya, pakaian kebesaran dan pakaian-pakaian lainnya, popularitas, ketampanan atau kecantikan, dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)
Dengan berpedoman pada wahyu-Nya tersebut, manusia bisa melihat dirinya sendiri dan orang lain secara kasat mata apakah telah mencapai derajat taqwa dan seberapa tinggi tingkat ketaqwaanya.
Salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa dalam al-Quran adalah “yuqiimuun ash-sholah” (mendirikan shalat) sebagaimana tersebut dalam dua ayat berikut ini.
“Kitab  (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]:2-3)
Kata ash-sholah di dalam al-Qur’an bergandengan dengan kata kerja dasar aqooma (mendirikan) bukan ’amala (mengerjakan). Dalam ayat tersebut di atas, kata yang bergandengan dengan kata as-sholah adalah yuqiimuna (mendirikan), bukan ya’maluuna (mengerjakan). Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah memelihara atau menjaga shalat, dalam arti tidak melalaikannya. Definisi tidak melalaikan shalat adalah sebagai berikut: Shalat wajib lima waktu tidak ada yang bolong. Melakukan setiap shalat dengankhusyu’ dan tuma’ninah. Melaksanakan shalat fardhu tepat waktu (tidak menunda-nunda) dan bagi laki-laki wajib berjama’ah di masjid (musholla/surau/nama lainnya).
Selain mendirikan shalat. ciri orang bertaqwa lainnya yang juga penting untuk dikemukakan di sini adalah sedikit tidur di malam hari dengan cara segera tidur di awal malam dan segera bangun di tengah malam atau di akhir malam sebelum fajar menyingsing untuk beribadah kepada Allah dengan mendirikan shalat Lail (tahajjud), membaca al-Qur’an, berdzikir, memanjatkan do’a, dan memohon ampun kepada Allah.
Al-Quran menyebutkan;
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:15-18)
Sedangkan ciri lain orang yang paling bertaqwa adalah menafkahkan hartanya di jalan Allah.
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS. Al-Lail [92]:17-18)
Kemudian, keuntungan apa saja yang pasti diperoleh oleh orang-orang bertaqwa?
Salah satu keuntungan yang didapatkan orang bertaqwa di dunia adalah ketika ajal datang kepadanya malaikat mencabut nyawanya dalam keadaan baik. Ketika meninggal, setiap orang berbeda keadaannya, ada yang baik dan ada yang tidak baik. Baik atau tidak tergantung masing-masing individu, apakah telah mencapai derajad taqwa atau tidak.
“(yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan".” (QS. An-Nahl [16]: 31-32)

Di akhirat, keuntungan yang akan didapatkan orang-orang bertaqwa adalah memperoleh surga yang memang sudah disediakan khusus oleh Allah untuk mereka.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali I’mron [3]:133)
Dengan mengetahui keberkahan yang pasti diperoleh oleh orang-orang yang bertaqwa yang tidak bisa diragukan lagi pasti mulia di sisi Allah apakah kita masih mengejar kemuliaan diri dan memuliakan manusia yang dimuliakan menurut kaca mata dan di mata manusia?
Karenanya, marilah kita jadikan diri kita, apapun profesi kita. Baik sebagai pemimpin, pejabat, pemilik dan pelaku media, selebritis, maupun lainnya berusaha menjadikan diri kita sendiri mulia di sisi Allah dan memuliakan orang-orang yang mulia di sisi Allah.*
Abdullah al-Mustofa, penulis adalah kolumnis hidayatullah.com dan kandidat Master Studi Al-Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia)

Artikel pengalaman beriman,berihsan,dan berislam (2)

NAMA  : SUKMANA GALIH MAULANA
KELAS  : KPI 2C
EMAIL  : sukmana_galih@ymail.com
telpon    : 089646462436

BERKERJA UNTUK BERIBADAH

Sugih bin Jaiman, tokoh sentral dalam esai foto. Ia adalah seorang penggali kubur berusia 57 tahun yang berasal dari Karawang, Jawa Barat.
Pekerjaannya sebagai penggali kubur di Taman Pemakaman Umum Kampung Kandang, Jakarta Selatan. Ia bukan penggali kubur biasa karena yang ia kuburkan adalah mayat tanpa identitas yang tidak diakui oleh keluarganya, korban kecelakaan lalu lintas atau korban kejahatan yang dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau Rumah Sakit Polri.
Pekerjaannya membutuhkan ketahanan ekstra tinggi, karena seringkali kondisi mayat yang dikuburkan sudah tidak sempurna, berbau dan basah. Tidak semua orang mampu melakoni pekerjaanya, apalagi dari segi materi pekerjaan ini tidak dibayar tinggi.
Ketika ditanya apa yang membuat ia bertahan untuk bekerja sebagai penggali kubur sejak 1993, beliau menjawab singkat, "untuk ibadah."
Dua kata yang beliau katakan dapat membuat kita berpikir dan menanyakan apakah selama ini kita sudah meniatkan pekerjaan sebagai ladang ibadah ataukah lebih meniatkan pekerjaan sebagai ladang untuk mencari materi.
Sungguh beruntung bagi mereka yang menyadari sejak awal bahwa pekerjaan yang ia geluti adalah jalan untuk mendekat kepada Allah.
Inilah konsep yang dapat dimaknai dari penggalan doa Iftitah yang kita baca di setiap shalat kita, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah.”
Masalah yang sering kita hadapi adalah seringnya kita terlupa tentang hubungan pekerjaan dengan ibadah.
Kadang jenis pekerjaan membuat kita mengenyampingkan arti ibadah yang dapat ditemukan dalam setiap pekerjaan kita. Akan sangat mudah bagi kita untuk berkata, "kalau begitu beruntung dong yang pekerjaannya berkaitan langsung dengan agama, seperti dai."
Apabila kita cenderung berpikiran demikian maka kita akan terjebak pada pemikiran bahwa yang bekerja pada bidang yang tidak berkaitan dengan agama seperti pedagang barang kelontongan atau pegawai swasta, sebagai orang yang tidak beruntung.
Apapun pekerjaan kita, sepanjang itu halal, berpotensi sebagai jalan ibadah. Sugih bin Jaiman sudah membuktikan hal tersebut.
Pekerjaan sebagai penggali kubur tidak membatasi pikiran beliau untuk mengartikannya sebagai jalan ibadah. Niat mencari rezeki berdasarkan ridha Allah –insya Allah– menjadi jaminan bahwa pekerjaan yang kita geluti akan dinilai ibadah oleh Allah SWT.